Suatu hariGen berjalan dengan tergesa-gesa menghampiri Rin
yang sudah menunggunya di tempat biasa. Mungkin sudah satu jam Rin duduk
disitu. Hari ini dia ada janji dengan Rin, ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Tentang hubungan mereka, selama empat bulan ini. Gen yang meminta Rin untuk
datang kesini, karena ini adalah keputusan yang diambil Gen.
“Hai, maaf telat.” Ujar Gen dengan napas ngos-ngosan saat
menghampiri Rin yang sedang membaca buku tebal. Gen menggaruk-garuk kepalanya
karena tidak ada tanggapan dari Rin. Dia tahu Rin pasti marah kepadanya. Dia
menyadari kalau dia bukan tipe cowok yang selalu tepat waktu kalau janjian.
“Maaf.” Ulang Gen lagi dengan nada getir.
Rin mengangkat kepalanya, menatap Gen yang berdiri tegap
dengan kepala menunduk dihadapannya. Dia melepas kacamata dan menutup buku
tebalnya. “Gak usah minta maaf. Udah keseringan. Dan udah jadi kebiasaan kamu
kalo janjian pasti ngaret. Jadi aku maklumin aja.” Ucap Rin.
Gen menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Rin. “Umm..
Rin, maaf seandainya aku manggil kamu dan minta ketemuan disini secara
mendadak. Aku rasa ini memang harus dibicarakan. Aku udah mikirin semuanya dan
aku tau ini berat buat aku dan mungkin juga berat buat kamu nerima semua ini.
aku…
“Kenapa sih kamu kalo ngomong selalu berbelit-belit? Gak
perlu kayak makalah harus pake pendahuluan dulu. Langsung tu de poin apa
salahnya sih?” Sanggah Rin dengan nada kesal. Rin menatap Gen dengan tatapan
sinis. Dia sudah muak dengan semua alasan Gen yang selalu gak masuk akal. Gen
itu PEMBOHONG! Bullshit. Bukan Cuma satu kali dia ngebohongin Rin. Rin sudah
tidak sabar lagi mendengar kebohongan Gen kali ini. kebohongan seperti apa lagi
yang akan diucapkannya setelah ini. dan dia sudah tidak sabar lagi ingin
melabrak Gen. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi pacaran dengan Gen yang
selalu bohong. Selalu! Gen itu cowok kaku, nggak romantis, dan suka bohong. Entah
kenapa Rin bisa suka sama Gen. Mungkin karena waktu itu dia melihat Gen itu
ganteng, tinggi, baik dan mungkin juga cowok baik-baik. Waktu itu Rin sering
melihat Gen keluar masuk masjid kampus. Tapi setelah dia pacaran dengan Gen
selama empat bulan ini, Dia baru tahu sifat buruk Gen.
“Emmm.. ok. Kalau kamu mau aku to the point, tapi sebelumnya
aku pengen minta maaf dan terimakasih atas semuanya. Maaf atas semua kelakuan
dan kata-kata aku yang pernah bikin kamu sakit.”
Banyak! banyak kata-kata lo yang bikin gue sakit. terutama
bullshit lu. Gumam Rin dalam hati.
“Maaf kalau selama ini aku suka nyebelin dan segala macem.
Makasih buat semuanya. Aku rasa hubungan kita cuma sampai disini. Maaf.” Gen
menundukkan kepalanya.
Rin terdiam sesaat. Dia heran kenapa dia tidak kaget
mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Gen. “Maksud kamu, putus?” tanya
Rin.
Gen mengangguk pelan. Dia tidak berani menatap mata Rin.
“Baiklah, kalau itu memang mau kamu. Why not?” ujar Rin
santai. Dia sudah menyangka kalau hal ini bakalan terjadi hari ini. hanya
sedikit dari hati kecilnya merasa akan kehilangan Gen setelah ini. tapi kenapa
sebagian besar dia tidak merasakan hal yang menyedihkan seperti kebanyakan
orang. Apa karena dia sudah tidak sayang lagi sama Gen, apa karena semua omong
kosong Gen yang selama ini membuatnya jadi ilfill.
Kali ini Gen yang terkejut. Dia tersentak mendengar
kata-kata Rin barusan. Dia menyangka kalau Rin bakalan nangis dan bakalan kaget
mendengar kalimat perpisahan itu. Tapi semuanya salah. Rin malah dengan
tenangnya menjawab sepperti itu.
“Rin… kamu nggak merasa keberatan kita putus?” Tanya Gen
dengan nada getir. Sebenarnya dia yang sangat berat meninggalkan Rin. Dia
heran. Rin sama sekali tidak menanyakan alasan kenapa dia memutuskannya.
Rin menggeleng. “Mungkin kamu harus belajar lagi cara
memahami perasaan cewek yang sering dibohongin!! Makasih!” Rin berdiri dari
duduknya dan berjalan meninggalkan Gen yang masih duduk dengan kepala
tertunduk. Sebagian wajahnya tertutupi oleh topi yang sering dipakainya. Topi
itu adalah pemberian Rin.
“Rin!” panggil Gen saat Rin sudah agak jauh. Gen berlari
menghampiri Rin. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecil yang selalu
dibawanya kemanapun dia pergi.
“Nih, kamu suka kan?” Seikat bunga edelweiss yang sudah
diawetkan berada di dalam genggaman Gen. Gen tersenyum kecil. Senyum yang
selalu dibanggakan Rin. Senyum yang hanya dimiliki Gen dan senyum yang paling
indah yang pernah dilihatnya.
Rin terhenyak. Kenapa disaat seperti ini? Kenapa Gen selalu
ingat dengan semua hal yang paling dia sukai. Dia memang suka dengan bunga edelweiss. Tapi untuk saat ini? egonya
terlalu besar untuk menerima bunga itu. Dia malu dan kalah dengan egonya
sendiri.
Rin berjalan meninggalkan Gen. tanpa mengambil bunga
edelweiss yang diberikan Gen. di depan pintu masuk café, Gen berdiri mematung
menatap kepergian Rin. Seikat bunga edelweiss yang ada ditangannya seakan-akan
berubah menjadi sebongkah es yang sangat dingin dan meleleh membasahi
tangannya. Gen tertunduk. Dia membujuk hati kecilnya agar tetap tegar dan
membujuk air matanya agar tidak keluar sekarang.
(***)
Satu bulan berlalu. Rin sibuk dengan skripsi yang dia buat.
Sibuk dengan penelitian dan studi kasusnya. Sore ini Rin duduk di taman kampus.
Sambil menikmati jus alpukat dia membaca novel yang sengaja dia bawa hari ini.
rencananya hari ini adalah refreshing sambil baca novel di taman kampus. Saat
membuka halaman pertengahan novel, Rin menemukan selembar kertas kecil yang
dilipat. Dia membuka lipatan kecil itu dan di dalamnya ada tulisan yang
mengingatkannya pada waktu itu.
(kalo kamu buka kertas ini dan baca tulisan ini, pasti kamu
inget sama aku. hehe)
Rin langsung merobek kertas itu dan membuangya ke kolam yang
ada dihadapannya. Dia ingat dengan waktu itu, waktu dimana mereka sedang
menikmati matahari sore seperti biasa. Di taman matahari.
Rin menghela napas panjang. Sudah satu bulan lebih semenjak
dia putus hubungan dengan Gen dia bisa melupakan Gen. tapi saat membaca tulisan
tadi, dia jadi ingat kembali dengan sosok Gen yang dulu menjadi kebanggaannya.
Begitu mudahnya dia melupakan Gen. lagi pula, selama satu bulan ini dia tidak
pernah melihat Gen di kampus. Bahkan berpapasan pun juga gak pernah. Mungkin
Gen juga sibuk mengurus skripsinya. Apa mungkin karena sosok Gen sudah
tertutupi oleh sosok baru yang baru-baru ini muncul dikehidupannya. Ryu.
Dua bulan berlalu. Malam ini adalah malam perayaan ulang
tahun Rin. Acaranya tidak begitu mewah, tapi banyak teman-temannya yang datang
menghadiri acara yang diadakan di café ayahnya teman Rin. Ryu terlihat gagah
malam ini dengan setelan jas hitam. Malam ini Rin merasa bahagia banget.
Teman-teman kampus dan teman semasa SMA semuanya datang menghadiri acara malam
ini.
Jam setengah dua belas, acara selesai. Saat Rin beranjak
pulang dan baru memasuki mobil, tiba-tiba Beli mengetuk kaca mobilnya.
“Rin, ini ada titipan.” Beli menyerahkan kado yang dibungkus
asal-asalan.
“Oh, Bel. bukannya perasaan tadi lo udah ngasih kado?” tanya
Rin sambil menerima kado itu dan meletakkannya di jok belakang.
“Bukan, itu dari Genta.” Jawab Bil pelan.
“Oh..” ujar Rin. Tiba-tiba Rin merasakan jantungnya berdegup
cepat dan dia merasakan sakit di bagian dadanya. Dia baru ingat kalau dia tidak
mengundang Gen ke acara ulang tahunnya. “Gimana kabar Gen, Bel?” tanya Rin.
“Ummm.. Dia baik-baik aja kok.”Jawab Beli. “Oiya, dia juga
titip salam buat kamu. Dan, ummm.. cowok yang tadi itu pacar kamu ya?”
“Salam balik deh sama Gen. Iya, itu cowok baru aku. Hehe.. Gimana?”
“Yah, lumayan. Tapi menurut gue lebih kerenan Gen. hehe.
Oke, gue cabut dulu ya?”
Rin tertawa sekilas. Malam ini dia kembali teringat dengan
sosok Gen. Wajar kalo Beli bilang masih kerenan Gen dibandingkan cowok barunya.
Soalnya Beli adalah teman dekat Gen. Rin menstarter mobilnya. Dia menghela
napas panjang. Kenapa setiap kali ingat dengan Gen, dia merasa dadanya seperti
tertekan.
(***)
Hari ini Rin memutuskan untuk menemui Gen. Entah energy apa
yang membawanya dan membuatnya ingin menemui Gen. tadi pagi, saat dia mencoba
untuk menelpon Gen, telponnya tidak tersambung. Mungkin Gen ganti kartu.
Sesampainya di kontrakan Gen, dia mendapati rumah kotrakan
terkunci rapat. Ring menghampiri pemiliki kontrakan dan menanyakan keberadaan
Gen.
“Ohh.. udah pindah satu bulan yang lalu, nak. Cowok yang
rambutnya suka acak-acakan itu kan?” Tanya bapak itu untuk meyakinkan.
“Iya, namanya Genta. Rambutnya sering acak-acakan dan
penampilannya juga acak-acakan sama sering pake topi abu-abu yang ada tulisan
Gen.” Jawab Rin sambil mengingat-ngingat sosok Gen yang memang itulah dia.
“Iya, dia sama temannya si Beli udah pindah satu bulan
lalu.”
“Kalau boleh tau pindahnya kemana ya, Pak?”
“Wah bapak kurang tau, nak.”
“Oh, yaudah. Makasih ya, Pak.” Rin kemudian beranjak
meninggalkan kontrakan Gen.
(***)
Rin menghentikan Beli
saat dia berpapasan dengan Beli didepan kelas. Dia ingin menanyakan keberadaan
Gen.
“Bel, Gen sekarang dimana?”
“Oh? Ummm.. Dia ada di kontrakan kok.” Jawab Beli santai.
“Bohong! Kemaren lusa gue ke kontrakan kalian dan kata
pemilik kontrakannya kalian udah pindah satu bulan lalu.”
Deg!! Beli tersentak kaget. “umm.. hehe.. maksudnya udah
pindah kontrakan.” Jawabnya dengan agak sedikit gugup.
“Dimana?” Desak Rin.
“Umm.. Dimana ya? lupa nama jalannya. Tapi dia baik-baik aja
kok. Hehe.”
Rin menatap mata Beli dengan tatapan menyelidik. Beli menundukkan kepalanya.
“Beli?!” panggil Rin dengan nada tegas.
“Gue gak bohong kok. Gen baik-baik saja. Cuma..”
“Cuma apa?” desak Rin lagi.
“Eh, gue ada janji sama Dosen. Sori.” Beli langsung berlari
meninggalkan Rin.
Rin merasakan ada yang tidak beres.
(***)
Entah kenapa dalam beberapa hari ini Rin jadi kepikiran sama
Gen. apalagi sejak melihat tingkah laku Beli yang aneh waktu itu. Seperti
menyembunyikan sesuatu. Rin mulai mencari kabar dan mencari tahu tentang
keberadaan Gen. Mulai dari menanyai teman-teman terdekat Gen sampai teman
tonkrongan Gen.
Tiga hari Rin mencari tahu kabar Gen, tapi semuanya menjawab
dengan jawaban yang sama seperti jawaban Beli. Kecurigaan Rin semakin
bertambah. Ryu, pacarnya makin curiga dengan kekhawatiran Rin.
“Ngapain sih khawatir sama cowok yang udah buang kamu gitu
aja? Kamu tau nggak, kamu tuh dipermainkan sama Gen dan temen-temennya.”
Kata-kata Ryu kemarin masih terngiang-ngiang di dalam benaknya. Akhirnya Rin
mengalah. Ngapain juga susah-susah nyari tau kabar Gen yang udah mutusin dia.
Rin merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk di kamarnya. Tiba-tiba Rin teringat
dengan Cahyo, teman dekat Gen juga. Dia anaknya alim yang suka bolak-balik ke
masjid bareng Gen. Rin yakin kalo yang satu ini nggak bakalan berani boong.
Rin segera bangkit dari kasur dan berkemas, siap menuju
kampus. Di kampus, Rin langsung berjalan menuju masjid. Masih ada waktu
setengah jam sebelum azan zuhur. Sambil mendengarkan musik dari headsetnya, Rin
bersender d dinding teras masjid. Rin mencoba memejamkan matanya namun bayangan
Gen selalu melintas dalam benaknya. Senyum Gen yang indah itu selalu melintas
saat dia mencoba untuk memejamkan mata. Semakin dia berusaha melupakan,bayangan
itu semakin terlihat nyata.
Lima belas menit kemudian Rin melihat sosok yang
ditunggunya. Cahyo. Rin langsung bergegas menghampiri Cahyo. Cowok muka lugu
itu kaget melihat Rin yang datang menghampirinya.
“Astaghfirullah!” seru Cahyo kaget ketika melihat Rin yang
datang menghampirinya. “Subhanallah,” Ucapnya kemudian ketika melihat wajah
Rin. “Eh, Rin ternyata. Ada apa ya?” tanyanya kemudian.
“Cahyo, kamu satu kelas sama Gen, kan? Kamu tahu Gen
sekarang ngontrak dimana?”
Cahyo garuk-garuk kepala. “Waduh, ane gak tau tuh si Gen
ngontrak dimana. Coba deh Rin tanya sama Beli, pasti dia tahu.”
Rin menghela napas panjang. “Gue udah nanya Beli tapi dia
nggak mau ngasih tau. Oiya, tapi kamu tahu kan kabar Gen sekarang gimana?”
“Oh, kalo itu sih ane udah tau. Udah tiga bulan Gen nggak
masuk kuliah. Katanya sih cuti. Tapi beberapa hari yang lalu saya denger dari
Beli katanya dia sakit.”
DEG!! Rin terhenyak. Benar. Berarti benar kekhawatirannya
selama ini. Dan benar kecurigaannya terhadap Beli selama ini. Rin mengepal
tinjunya. Rasanya dia ingin menonjok muka Beli saat itu juga. Kenapa pake
rahasia-rahasiaan coba?
“Kamu tahu Gen sakit apa?”
“Kalo sakitnya ane kurang tau tuh.” Jawab Cahyo. Tiba-tiba
ponsel Cahyo berdering. “Rin, tar dulu ya, ada panggilan masuk nih, ndak enak
kalo didiemin.” Abis ngomong gitu Cahyo berjalan agak jauhan dari Rin.
“Halo? Kenapa, Bel?”
“Apa? Astaghfirullah. Lho? Lho? Lho? kok bisa?” Cahyo panik.
Sedangkan Rin memperhatikan gelagat Cahyo dari jauh.
“Lah, Ane gak punya kendaraan buat kerumah ente, gimana
sih!”
“Sama siapa? Nggak ada, orang dia udah pulang tadi pas
matkul kedua.”
“Yaudh, ane usahain aja. Tar nebeng ke siapa aja.
Assalamu’alaikum.”
Cahyo menghela napas panjang sambil meletakkan kembali
ponselnya. “Siapa, Yo?” tanya Rin.”
“Itu, si Beli. Udah dulu ya, Rin. Ane buru-buru nih mau ke
rumah Beli.”
“Ngapain?”
“Oh iya, barusan Rin kan nanyain Gen? dia sekarang di rumah
Beli. Mau ke rumah Beli nggak?”
“Emangnya Gen kenapa?” Rin semakin tambah panik melihat
mimik Cahyo yang panik seperti itu.
“Emm… Itu.. Anu.. Gen, koma. Dia ndak sadar dari tadi pagi,
sekarang ane diminta…”
“Ayo cepetan! Tunjukin jalan ke rumah Beli.” Rin langsung
menarik tangan Cahyo. Dia berlari menuju basement tempat parkir mobilnya. Tanpa
disadarinya, air matanya menetes satu per satu.
“Anu, Rin. Gen bukan di rumah Beli, tapi di rumah sakit
tempat ayahnya Beli kerja.”
Rin mengangguk pelan kemudian masuk ke dalam mobil diikuti
oleh Cahyo.
(***)
Rin memarkirkan mobilnya di tempat parkir rumah sakit.
kemudian berjalan tergesa mengikuti langkah kaki Cahyo menuju ruang ICU. Rin
merasakan lututnya lemas seperti tidak sanggup untuk berjalan lagi. Saat dia
mengetahui rumah sakit yang ditujunya adalah rumah sakit kanker, Rin langsung
lemas dan mual. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa keadaan Gen yang
sekarang, yang kena kanker.
Mereka tiba di ruang ICU. Beli kaget melihat Cahyo yang
datang bersama Rin. Dia menepuk keningnya dan menarik Cahyo. Teman Beli menahan
Rin agar tidak masuk ke ruang ICU terlebih dahulu.
“Cahyo… grrrrrrrrhh..! Beli gregetan. Dia bingung mau bilang
apa. Sebab memang salah dia nggak ngasih tau Cahyo sebelumnya kalau tidak
memberitahu Rin apapun tentang Gen.
“Kenapa?”tanya Cahyo polos.
“Kenapa harus sama, Rin??”
“Lah wong tadi yang dikampus cuma ada Rin. Yasudah ane
berangkatnya sama Rin. Lagian dia sebelumnya nanya kea ne kabar Gen gimana.
Yauddah sekalian.”
Grrrrrgghhhh,…!! Beli semakin gregetan. “Yasudah. Gen udah
sadar tapi kondisinya masih kritis. Tadi katanya dia pengen ketemu lo sebelum
kondisinya koma.”
“Oh, yasudah, ane kedalam dulu ya.” Cahyo kemudian beranjak
dan masuk ke dalam ruang ICU sambil mengenakan baju khusus.
Rin duduk di depan ruang ICU bersama teman-teman Gen.
lumayan banyak teman-teman Gen yang datang, mulai dari anak tongkrongan, teman
kampus dan teman organisasinya. Tidak begitu banyak yang Rin kenal, hanya
sebagian.
“Rin, maaf sebelumnya kita nutup-nutupin semua ini dari lo.”
Ujar Beli seraya duduk disamping Rin.
“Kamu tahu, kita disini juga panik sama keadaan Gen yang
seperti ini. penyakitnya memang sudah lama, tapi dia tidak mau ngasih tau gua
sama teman-teman yang lain, bahkan lo juga gak dikasih tau. Kankernya sudah ada
sejak lo pacaran sama dia. Dia berobat sendiri. Gua sebagai teman dekatnya gak
dikasih tau. Dia itu keras kepala dan punya prinsip gak mau nyusahin orang
lain.” Beli menghentikan kalimatnya. Air matanya menetes satu per satu. “Dia
kerja part time buat biaya berobatnya. Gua kira dia kerja part time buat ngisi
waktu kosong dan buat ngebiayain kuliah. Dia udah gua anggap sebagai kakak gua
sendiri. Dia anak yatim piatu, udah biasa hidup ditempat keras kayak gini, tapi
dia keras kepala! Dan gue tahu dia punya penyakit kanker saat gue nemuin resep
obat keras di saku bajunya. Dan gue udah mulai curiga saat dia pergi kerja part
time malam-malam. Dan ternyata dia bukan kerja, dia ke RS buat kemoterapi, buat
ngobatin kankernya. Dia nutupin semua itu dengan berbohong sama gue, bahkan
juga sama lo. Dan sekarang, inilah yang terjadi. Saat dia tau kalau gue udah
tahu penyakitnya, dia mint ague untuk tutup mulut dan dia nggak mau lo tahu tentang
penyakitnya ini. dia benar-benar keras kepala. Dia nggak mau nyusahin orang
lain.” Ujar Beli panjang lebar.
Rin menyeka air matanya. Saat dia melihat Cahyo keluar dari
ruang ICU, Rin bergegas masuk. Sebelumnya dia ditahan oleh suster karena sudah
banyak yang masuk ke ruangan itu. Beli menjelaskan kalau Rin adalah penjenguk
terakhir. Akhirnya Rin diizinkan masuk.
Tubuh kurus itu terbaring lemas diatas kasur putih dengan
selang pipa infuse dan obat serta jarum menusuk tubuhnya. Rin menghampiri Gen
yang terbaring lemah. Rin tidak bisa membendung air matanya. Dia membiarkan air
matanya tumpah begitu saja. Dipeluknya tubuh Gen. Ditatapnya mata Gen. mata
yang dulu sering menatapnya dalam-dalam, tatapan yang dulu penuh kasih sayang.
Kondisi gen sangat memprihatinkan. Tidak ada sehelai rambut lagi yang tumbuh
dikepalanya akibat kemoterapi, dan disekitar matanya agak cekung dan sedikit
menghitam.
“Rin..” Panggil Gen dengan nada getir.
“Ya…” jawab Rin. Dia menatap Gen. dia merindukan sosok Gen
yang dulu selalu melindunginya dan selalu menghiburnya.
“Maaf..” ucap Gen getir..
“Maaf buat apa? Kamu nggak salah kok. Aku yang salah. Akunya
yang egois. Selalu pengen menang sendiri.” Rin semakin terisak.
“.. Rinn…”
“Iya?”
“ Jangan … nangis..” Gen berusaha untuk menyeka air mata
Rin. Tangannya gemetar seperti tidak ada tenaga lagi. Tapi akhirnya dia bisa
menyeka air mata Rin.
Tiba-tiba suster masuk ke dalam ruang ICU dan mengatakan
kalau waktu Rin sudah habis. Rin menyeka air matanya sekali lagi. Rin pamit
kepada Gen.
“Gen, aku yakin kamu bakalan baik-baik aja kok. Banyak yang
bisa lolos dari penyakit ini. aku pulang dulu. Besok aku kesini lagi.”
Gen mengangguk. Saat Rin sudah beberapa langkah meninggalkan
Gen. tiba-tiba Gen memanggil Rin.
“Rin..?”
Rin menoleh ke arah Gen.
“Jangan… Nangis.. Lagi ” ujarnya dengan nada getir. “Bye..
Bye..”
Rin semakin terisak. Dalam keadaan seperti itu dia masih
bisa melihat Gen tersenyum. Rin meninggalkan ruang ICU. Dia berjalan keluar
ruangan dan langsung menuju kamar mandi. Dia ingin menangis dan meluapkan semua
emosinya.
(***)
Keesokan harinya, Rin sudah siap-siap untuk berangkat ke RS
untuk menjenguk Gen. dia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua
siang. Rin langsung memasukkan barang-barang yang harus dibawanya, buku dan
laptop untuk menyelesaikan tugas kampusnya.
Tapi, saat dia ingin keluar dari halaman rumahnya, Rin
dihentikan oleh Beli.
“Rin, bisa kita ngobrol sebentar di dalem rumah kamu?”
Rin akhirnya menyetujui dan kembali memarkirkan mobilnya di
tempat parkir. Rin mengajak Beli masuk ke dalam rumah. Beli duduk sambil
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Flashdisk. Lebih tepatnya itu punya
Gen. Rin tahu, soalnya flashdisk itu selalu dibawa Gen kemana-mana.
“Nih, dari Gen.”
“Lho? kenapa?”
“Ummm.. gue harap tar malem atau besok lo liat isinya.
Jangan sekarang.”
“Kenapa emang?”
“Rin, Gen udah nggak ada.”
Rin tersentak kaget. Dia menutup mulutnya. Hal ini sangat
mengejutkannya. Rin merasakan dadanya sakit. kerongkongannya tercekat. Matanya
perih dan mukanya panas. Rin merasakan tubuhnya lemas seketika. Dia tidak bisa
membayangkan semuanya. Gen? secepat itukah? Gen? kenapa bisa secepat ini?
(***)
Malamnya, Rin masih terhenyak dan masih tertekan atas kabar
tentang Gen. Setelah pulang dari pemakaman Gen, Rin langsung mengurung diri di
kamar. dia menangis sampai matanya perih.
Rin teringat dengan falshdisk Gen yang dikasih Beli waktu
itu. Rin langsung mencolokkan flashdisknya dan langsung melihat isinya. Di
dalamnya terdapat dua folder. Folder pertama namanya foto with Rin, folder yang
kedua namanya Video untuk Rin.
Rin mulai membuka folder kedua. Didalamnya ada satu video,
kemudian Rin langsung meng-klik video tersebut.
Hai, Rin. Apakabar? (Dalam video itu ada Gen. Gen yang
membuat video itu sendiri. Mungkin mengguakan hadycam. Rin yakin, pasti Gen
membuat video ini pas lagi di kamar rumah sakit)
Rin, sebelumnya, aku pengen minta maaf sama kamu. Aku pengin
ngejelasin semuanya waktu itu ke kamu. Tapi kamunya langsung pergi. Maaf, Rin.
Aku ngambil keputusan ini karena aku gak mau nyusahin kamu nantinya.
Rin,maaf kalau selama ini aku sering bohongin kamu. Sebenarnya,
setiap aku bohong ke kamu, aku lagi di rumah sakit. lagi kemoterapi. Maaf ,
Rin.aku ngambil keputusan buat putus hubungan ke kamu, karena aku udah nggak
tau mau gimana lagi. Waktu itu aku divonis dokter yang menangani aku kalau
umurku paling lama dua bulan lagi. Maka dari itu, aku mutusin kamu agar kamu
nantinya nggak kaget. Mungkin ini tindakan bodoh. Tapi, waktu aku mutusin kamu,
kamu terlihat fine-fine aja. Apa karena kamu waktu itu marah sama aku, Rin? Apa
karena aku udah keterlaluan sama kamu, Rin?
Rin, maaf sebelumnya kalau aku nutupin semua ini dari kamu,
aku nggak bisa ngejelasin ke siapa-siapa kalau aku punya penyakit kanker ini.
Cuma Beli yang tahu. Aku bingung mau ngejelasin ini ke kamu. Waktu itu aku
sempat ke kampus buat nemuin kamu, tapi waktu itu bukan waktu yang tepat buat
ngomongin masalah ini, waktu itu aku lihat kamu lagi have fun sama seorang
cowok. awalnya Aku nggak tahu cowok itu
siapa, tapi akhirnya aku tahu kalau itu cowok baru kamu. Aku dikasih tahu Beli.
Mudah-mudahan lancar ya dan lanjut sampe nikah. Hehe,….
Oiya, maaf waktu itu aku gak bisa datang ke acara ultah
kamu. Aku Cuma bisa nitipin kado sama Beli. Maaf kalo kadonya jelek dan nggak
berharga…
Sampai disini Rin memencet tombol “pause”. Rin beranjak dari
kasurnya dan mengambil kado pemberian Gen waktu itu. Kado itu belum sempat
dibukanya. Rin langsung membuka kado tersebut dan saat itu juga air mata Rin
tumpah. Bunga Edelweis yang waktu itu tidak diambilnya dari Gen pada saat Gen
mutusin Rin. Rin terhenyak. Dia mengambil secarik kertas yang ada dalam kado
tersebut. Dia membacanya.
“SELAMAT ULANG TAHUN. SEMOGA SEMUA CITA-CITA DAN HARAPANNYA
TERCAPAI. JADI SEMAKIN DEWASA DALAM ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA. AMIEN”
Rin menyeka air matanya dan kembali melihat video tadi.
Malam itu rencananya aku pengin banget ke acara ultah kamu.
Aku pengin liat kamu pake gaun. Kata Beli, kamu malem itu cantik banget. Oiya
Rin,bunga edelweiss itu aku sendiri lho yang metik. Hehe, aku boong lagi ke
kamu waktu itu. Aku gak bilang-bilang kalau aku ikut pendakian missal sama anak
Pencinta Alam. Rencananya mau bikin surprise eh malah sakit kena hipotermia.
Hehe.
Rin, kamu adalah cewek baik yang peduli dan care sama aku.
Makasih atas semuanya, kamu baik banget Rin. Dan juga, tadaaaa… (Gen memakai
topi pemberian Rin).. topi ini berharga banget buat aku. Makasih ya. hehe..
makasih atas semuanya.
Semuanya udah terjadi, dan kita udah bikin kenang-kenangan
dalam memori kita. Bercanda, berantem, ledek-ledekan, nonton bareng, jalan
bareng, dan semuanya adalah hal yang berharga dan sayang untuk dilupain.
Rin, seandainya kamu tahu perasaan aku waktu aku mutusin
kamu, rasanya sakit banget, Rin. Tapi itulah jalan yang harus aku ambil. Oiya,
bentar lagi kamu siding skripsi ya? mudah-mudahan sukses ya, Rin. Amien.
Langsung dapet kerja dan semua cita-cita kamu bisa tercapai.
Rin, seandainya nanti aku udah nggak ada. Aku pengen kamu
nggak ngelupain aku kalau kamu bisa. Sebab, orang yang sudah nggak ada di dunia
ini, hanya akan bisa hidup dalam setiap kenangan orang yang masih hidup. Aku
pengen hidup lagi dalam kenangan kamu, Rin.
Sampai disini dulu ya, Rin. Aku minta maaf kalau aku pernah
nyakitin perasaan kamu.
Bye-bye, Rin.
Rin terdiam. Dia memeluk bantalnya sangat erat. Rin terisak.
Tangisnya tak bisa berhenti.
Jauh di lubuk hatinya, dia sangat meraskan kehilangan Gen.
saat dia mengingat Gen, senyum indah Gen selalu berkelebat dalam benaknya. Gen,
maafin aku. Maafin aku. Gumam Rin sambil terisak.
ini jalan ceritanya mirip banget sama film yang jdulnya pupus :')
BalasHapusmakasih sudah membaca :)
Hapus